Jumat, 10 Desember 2010

Ciptakan Budaya Membaca Sejak Dini

Minat baca orang Indonesia tebilang sangat rendah dibandingkan dengan negara-negara lain, Indonesia jauh tertinggal. Hal ini tidak mengherankan karena sejak kecil kita tidak dididik orang tua kita untuk mencintai buku. Kalau diberi uang saku maka anak Indonesia, biasanya akan memakainya untuk membeli makanan (jajan). Itu sebabnya uang saku lebih sering dikenal dengan sebutan "uang jajan", karena memang tujuannya untuk membeli makanan. Jarang anak dididik untuk menggunakan uang sakunya untuk sesuatu yang lain, misalnya untuk menyewa buku atau membeli alat tulis atau buku. Hal-hal tersebut dianggap otomatis tugas orang tua untuk menyediakannya. Anak tidak diajar dari kecil untuk bertanggung jawab terhadap kebutuhannya sendiri. Alasan lain kenapa anak tidak menginginkan buku, karena harga buku sering tidak terjangkau oleh "uang jajan" anak tadi.
Oleh karena itu untuk memungkinkan anak mencintai buku dan memiliki minat membaca, maka orang dewasa harus terlibat dengan memberi teladan dan membantu mengusahakan penyediaan buku bacaan bagi mereka. Sebetulnya sikap "mencintai buku" (minat baca) biasanya lahir dari rumah. Jika orang tuanya, atau orang dewasa yang tinggal serumah, ternyata mencintai buku dan senang membaca, maka hampir bisa dipastikan anak juga akan gampang "tertular", seperti kata pepatah (buah jatuh tidak jauh dari pohonnya). Jika orang tua senang membaca maka dengan mudah buku-buku akan dijumpai di berbagai tempat di rumah dan anak-anak jadi terbiasa melihat buku, sehingga jika anak sedang tidak memiliki aktivitas lain, mereka akan lari ke buku sebagai tempat untuk menghibur diri.

Para orangtua diharapkan ikut berpartisipasi menggerakkan anak-anaknya untuk menumbuhkan minat membaca. Sebab, anak-anak yang tumbuh dengan minat baca tinggi diyakini akan tumbuh menjadi generasi yang berkualitas. Menumbuhkan minat baca pada anak merupakan langkah untuk menciptakan generasi yang berkualitas di kemudian hari. Budaya baca harusnya selalu dikembangkan, dengan demikian, akan menjadi kebutuhan hidup dan minat baca hendaknya dibudayakan dari usia dini karena apabila telah dewasa penanaman budaya baca akan lebih sulit diterapkan. Sejarah mengajarkan bahwa bangsa yang maju adalah bangsa yang yg gemar membaca, oleh karena itu, otomatis kecerdasan dan wawasan ilmu pengetahuan dan teknologi kian bertambah sehingga terjadi peningkatan kualitas sumberdaya manusia (SDM) yang diperlukan untuk upaya pembangunan yang berkesinambungan dan berkelanjutan.

Di samping itu, orang tua juga perlu menetapkan jam wajib baca. Tiap anggota keluarga, baik orangtua maupun anak-anak diminta untuk mematuhinya. Di tengah kesibukan di luar rumah, semestinya orangtua menyisihkan waktunya untuk membaca buku, atau sekadar menemani anak-anaknya membaca buku. Dengan begitu, anak-anak akan mendapatkan contoh teladan dari kedua orang tuanya secara langsung.
Pengaruh Televisi dan Games
Kebiasaan anak-anak menonton televisi atau main games ternyata jauh lebih besar ketimbang kebiasaan anak-anak membaca buku. Hal ini tejadi karena televisi dan games mempunyai pengaruh yang kuat pada anak-anak. Seperti kita ketahui televisi dan games membuat anak ingin terus menonton/bermain tanpa pernah merasa puas. Perkembangan teknologi (games) yang kian pesat juga berdampak terhadap kebiasaan anak-anak. Saat ini, anak-anak lebih cenderung menghabiskan waktu luangnya dengan menonton televisi dan bermain games yang semakin marak dan inovatif. Kendati televisi bukan media interaktif bagi anak-anak, tetapi televisi termasuk media yang sangat diminati. Hal ini karena televisi bersifat audio visual, mampu menghadirkan kajadian, peristiwa, atau khayalan yang tak terjangkau panca indera dalam ruangan atau kamar anak-anak. Televisi juga mampu mengingat 50 persen dari apa yang mereka lihat dan dengar dari apa yang ditayangkan sekilas.
Mungkin Anda bertanya, bukankah televisi juga menyajikan berita dan informasi yang juga bisa menambah wawasan? Memang betul, tapi dibanding dengan buku (atau bahan bacaan lainnya), televisi memiliki sejumlah kelemahan. Pakar komunikasi, Jalaluddin Rahmat, memberikan beberapa argumentasi. Pertama, televisi adalah sebuah kegiatan yang orientasinya betul-betul bisnis. Karena itu informasi dalam televisi akan cenderung disajikan dan dikemas dalam bentuk-bentuk yang menarik, tidak terlalu sulit, sederhana, dan mengandung unsur human interest. Kedua, televisi hanya memberikan informasi sekilas, instan. Karena sekilas, tidak mungkin televisi memberikan presentasi yang mendalam tentang sesuatu hal. Televisi tidak akan memberikan informasi secara mendalam sehingga kita bisa melakukan refleksi. Setali tiga uang dengan nasib buku, perpustakaan tampaknya belum populer di mata masyarakat. Dapat dibandingkan, misalnya, frekuensi kunjungan anak-anak yang kelak akan menjadi tulang punggung bangsa, ke mall atau rental playstation dibandingkan ke perpustakaan. Mana yang lebih tinggi? Atau berapa banyak koleksi kaset lagu yang mereka miliki dibandingkan koleksi buku?
Disamping itu, menonton adalah kegiatan yang bersifat pasif, cenderung enjoy, dan tidak membangun unsur konseptual. Menonton hampir tidak membutuhkan "proses berfikir". Menonton hanya mendapatkan hiburan! Berbeda dengan menonton, membaca dapat memantapkan kemampuan pemikiran konseptual yang tercermin dari kegiatan merumuskan kata atau ungkapan yang mewakili gejala dalam kenyataan hidup. Maka jangan heran jika jam nonton/bermain anak Indonesia masih lebih tinggi jika dibandingkan dengan jam belajar/baca, tentunya karena mereka lebih banyak menghabiskan waktunya untuk menonton acara televisi dan bermain games. Data yang dikeluarkan BPS tahun 2006 menunjukan, bahwa masyarakat Indonesia belum menjadikan kegiatan membaca sebagai sumber utama mendapatkan informasi. Masyarakat lebih memilih menonton televisi (85,9%) dan/atau mendengarkan radio (40,3%) ketimbang membaca koran (23,5%) (sumber: www.bps.go.id).
Tidak dapat dipungkiri bahwa untuk meningkatkan budaya baca tidaklah mudah, banyak faktor-faktor penghambatnya. Mengapa minat baca di Indonesia rendah? Pertama, proses pembelajaran di Indonesia belum membuat anak-anak/siswa harus membaca, atau mencari informasi/pengetahuan lebih dari apa yang diajarkan, Kedua, banyaknya jenis hiburan, permainan (games) dan tayangan televisi yang mengalihkan perhatian anak-anak dan orang dewasa dari buku. Ketiga, banyak tempat hiburan untuk menghabiskan waktu seperti taman rekreasi, tempat karoke, night club, mall, supermarket dan lain-lain. Keempat, budaya baca memang belum diwariskan secara maksimal oleh nenek moyang. Kita terbiasa mendengar dan belajar dari berbagai dongeng, kisah, adat istiadat secara verbal disampaikan orang tua, tokoh masyarakat penguasa zaman dulu, anak-anak mendengarkan dongeng secara lisan, dimana tidak ada pembelajaran (sosialisasi) secara tertulis, jadi mereka tidak terbiasa mencapai pengetahuan melalui bacaan, dan Kelima, sarana untuk memperoleh bacaan, seperti perpustakaan atau taman bacaan, masih merupakan barang aneh dan langka.
Sarana Pendukung
Ada banyak faktor yang menyebabkan kemampuan membaca anak-anak Indonesia tergolong rendah, seperti ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku yang bermutu dan memadai. Bisa dibayangkan, bagaimana aktivitas membaca anak-anak kita tanpa adanya buku-buku bermutu. Untuk itulah, ketiadaan sarana dan prasarana, khususnya perpustakaan dengan buku-buku bermutu menjadi suatu keniscayaan bagi kita. Kita semua tahu bahwa perpustakaan merupakan gudangnya ilmu dan informasi bacaan, baik yang berkaitan dengan dunia pendidikan maupun pengetahuan umum, sehingga keberadaan perpustakaan di lingkungan kita dirasakan sangat penting. Dengan adanya perpustakaan, kita dapat mudah mencari referensi atau rujukan sumber ilmu yang sedang dipelajarinya, dengan demikian kita dapat mengembangkan wacana serta wawasan yang lebih luas.
Peran serta pemerintah dan masyarakat dalam menggalakkan minat baca dengan berbagai fasilitas seperti taman baca atau perpustakaan keliling, kalau perlu dilakukan di setiap taman kota yang ada, dan selayaknya didaerah-daerah dibangun perpustakaan. Selain itu, pemerintah dapat bekerjasama dengan swasta dalam meningkatkan sarana dan prasarana yang ada di perpusatakan, misalnya melalui pemilihan lokasi yang strategis, tempat yang reperesentatif (tenang dan nyaman), sarana yang memadai, petugas yang melayani, hari dan jam buka yang panjang, penambahan jumlah koleksi buku serta jenis buku yang sesuai dengan minat pembaca, serta promosi dan sosialisasi kepada warga yang menarik agar mereka mengerti betul apa arti pentingnya budaya membaca. Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar, semakin besar pula stimulasi membaca sesama warga masyarakat. Dengan mengetahui pentingnya (manfaat) budaya membaca, marilah kita canangkan budaya gemar membaca untuk diri kita sendiri, keluarga dan masyarakat sekitar.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar